Nasionalisme Semu - Seranai

Portal informasi Pendidikan, Wisata, Kuliner, Keluarga, dan Kesehatan

Breaking

Post Top Ad

02/04/14

Nasionalisme Semu

Rasa nasionalisme pastinya dimiliki oleh setiap warga negara ini namun kita tak pernah tahu berapa kadarnya serta cara dia mengungkapkan nasionalisme itu sendiri. Dulu saat sekolah, nasionalisme diidentikkan dengan yang namanya upacara bendera. Bila tak ikut upacara bendera dianggap tak nasionalisme, dianggap tak menghargai jasa pahlawan namun sebenarnya tanpa ikut upacara benderapun kita bisa memiliki rasa nasionalisme. Bahkan menurut saya upacara bendera kini bagi sebagian orang hanyalah sekedar upacara biasa tanpa lagi ada rasa nasionalisme, buktinya saat upacara bendera masih ada yang suka berbicara satu sama lainnya, pencet handphone bahkan ada yang sambil menelpon serta ada juga yang badungkung saat upacara bendera tersebut.

Terlepas dari cerita upacara bendera tersebut dalam beberapa tahun terakhir saya melihat rasa nasionalisme itu terasa luntur terutama di kalangan pejabat negeri ini. Rasa menghargai dan memiliki bangsa Indonesia seakan-akan hanya sebagai pemanis lidah saja, apalagi sekarang di bulan agustus ini pasti banyak pejabat yang bercerita tentang rasa kebangsaan yang dia miliki tapi dia tak sadar bahwa itu hanya sekedar ucapan saja tanpa pernah ada bukti di lapangan.

Ada banyak contoh betapa semunya nasionalisme sebagian pejabat negeri ini, misal pemerintah sering sekali menggaungkan cinta produk Indonesia namun kenyataannya tak semua pejabat melakukan hal itu. Kita masih ingat bagaimana orang-orang yang mengaku sebagai wakil rakyat membeli peralatan kantor seperti kursi kerja dari Jerman dengan menghabiskan bermiliar rupiah. Padahal di negeri ini ada banyak para pengrajin kursi yang kursinya juga kualitas ekspor. Kemudian situasi sekarang disaat negeri ini katanya kekurangan stok BBM bersubsidi, para pengemudi pelat merah masih suka mengisi mobilnya dengan premium padahal sudah ada instruksi agar menggunakan pertamax. Padahal mereka tahu bahwa premium itu dikhususkan bagi rakyat kecil yang tak mampu bukan untuk mereka yang berpelat merah apalagi bagi mobil sekelas Jaguar, bmw, dan sederet mobil mewah lainnya dan satu lagi, masih sukanya para pejabat keluyuran menggunakan mobil dinas di luar kegiatan kantor padahal gunanya mobil dinas untuk mempermudah urusan kerja bukan urusan keluarga dan semoga saja mobil itu tidak digunakan menjadi kendaraan mudik di hari lebaran ini.

Hal terbesar yang menjadi bukti bahwa sebagian pejabat negeri ini tak punya nasionalisme adalah banyak dari mereka tersandung masalah korupsi. Korupsi yang mereka lakukan menjadi bukti bahwa kepentingan pribadi maupun golongan di atas kepentingan negara. Mereka tak peduli bahwa uang itu hak rakyat Indonesia, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa kaya tak peduli bagaimana caranya. Hukuman bagi para koruptor ini pun tak setimpal dengan dosa yang dia lakukan. Terlalu pilih kasihnya hukum dalam menjatuhkan hukuman membuat saya sempat terpikir dengan ungkapan seorang teman di jejaring sosial ‘daripada mencopet di pasar lebih baik merampok negara’. Kenapa dia bilang seperti itu? Dia berkata kalau mencopet di pasar, resiko hukumannya besar, mulai dari diamuk massa sampai babak belur atau yang lebih sadis dibakar massa hingga tewas kemudian keluarganya pun terkucil dari lingkungan masyarakat. Hal itu berbanding terbalik dengan para koruptor, mereka masih bisa senyum, masih bisa naik mobil bahkan terkadang dapat fasilitas bintang lima di dalam tahanan dan bisa keluar tahanan dengan mudah hanya bermodal surat sakti dari dokter yang mengatakan dia sakit dan ketika bebas dari penjara mereka disambut bak pahlawan.

Nasionalisme semu itu sendiri tak hanya berkutat di wilayah birokrasi tapi sekarang menjalar hampir ke semua sendi seperti bidang olahraga khususnya sepakbola dan bulu tangkis. Memang ketika timnas berlaga kita masih bisa melihat bagaimana antusiasnya masyarakat Indonesia untuk menonton pertandingan walaupun ada juga yang berpendapat antusiasme masyarakat menonton pertandingan timnas tidak selalu berkorelasi dengan rasa kebangsaan. Nasionalisme serta antusiasme masyarakat terhadap timnas berbanding terbalik dengan organisasi yang menaungi olahraga tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan adanya dualisme organisasi, dualisme liga yang masing-masing selalu mengklaim bahwa merekalah yang paling sah. Berita terbaru adalah bagaimana sebuah klub sepakbola mengancam akan memberi sanksi kepada pemainnya hanya karena ia membela timnas yang bernaung di organisasi yang berbeda dan yang teranyar dari ajang olimpiade cerita tentang ganda putri Indonesia, Meilian Jauhari/Greysia Polii didiskualifikasi karena dianggap bermain sabun saat menghadapi ganda puteri pasangan Korea agar bisa terhindar melawan pasangan Cina. Sungguh kejadian yang memalukan, kalau memang nasionalisme itu masih ada harusnya mereka terus berjuang tak peduli siapapun yang mereka hadapi, kalah dan menang dalam sebuah pertandingan adalah hal biasa. Lebih baik kalah secara terhormat daripada menang dengan cara curang.

Tulisan ini mungkin bagi sebagian orang hanyalah sebuah pemikiran dangkal tentang arti sebuah nasionalisme namun bagi saya walaupun tulisan nasionalisme ini terasa dangkal tapi untuk hal semacam itu saja mereka sudah tak mampu untuk menunjukkan rasa cinta pada bangsa sendiri apalagi untuk urusan yang yang lebih besar daripada itu. Sudah saatnya kita memberikan yang terbaik untuk Indonesia bukan lagi apa yang bisa Indonesia berikan kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setiap untaian kata yang tertulis, mencerminkan sebuah kepribadian. Bijaklah dalam Menulis.

Post Bottom Ad

Pages